Selasa, 11 Desember 2012

2s


Akupun Jadi Bekas

Pagi dunia! Semua orang di sekitarku mengenalku dengan panggilan Wina si gadis pendiam. Yah, aku memang pendiam, tak banyak bicara tak banyak komentar dan cukup sering memberikan seulas senyum. Tapi, siapa yang tahu bahwa aku ini orang yang cerewet, selalu nyerocos kalau memberikan komentar terhadap sesuatu, antusias menggambarkan hal yang baru dilihat dengan bahasa yang gamblang dan cukup menyenangkan bagiku. Bagaimana ada yang tahu? Bukankah aku seperti itu hanya asyik dalam dunia sendiri dan hati sendiri. Tentunya, hanya aku dan Yang Menciptakanku yang tahu hal yang berkelebat dalam hati dan pikiranku.
Dan pagi ini aku sudah nyerocos(dalam hati) mengomentari burung yang hinggap dari dahan satu ke dahan yang lainnya hanya dengan ekspresi tersenyum.
“Wina!!! Ayo sarapan dulu!!” terdengar suara Mama memanggilku, memotong komentar ku yang tak terbendung di pagi ini.
“Hari ini jadi bertemu dengan Rizal?” Mamah bertanya dengan tatapan penasaran.
“Insya Allah jadi Ma, siang ini kami bertemu. Kebetulan selain hari ini sekolah tempatku mengajar akan dipulangkan lebih awal, Ka Rizal juga pulang cepat dari kantornya.” Aku menjelaskan sambil tersenyum pada Mama.
Aku memang pendiam, tapi siapa sangka aku adalah salah satu guru favorit di sekolah,hehe (maaf sedikit pd). Aku salah seorang guru di SMA Islam Al-Ma’mun, guru mata pelajaran Geografi tepatnya. Meskipun pendiam tapi aku profesional dalam mengajar, ketika mengajar tak ada sosok Wina yang terkenal pendiam. Aku berusaha semaksimal mungkin agar murid-muridku memahami apa yang aku jelaskan. Tentunya dengan cara mengajar yang menyenangkan dan usia yang masih muda bukan hal aneh kalau aku jadi guru favorit.
Oh ya, hampir lupa. Pasti penasaran kan dengan Ka Rizal yang tadi ditanyain Mama? Nama lengkapnya Rizal Al-farid. Dialah orang pertama yang berhasil  memintaku memberikan sedikit ruang di hati untuk seorang pria. Orang pertama?  Ya benar sekali, orang pertama. Karena selama sekolah sampai kuliah aku sama sekali ga pernah mau membukakan hati untuk pria manapun meski sesempurna apapun pria tersebut. Dan sekarang aku membukanya untuk Ka Rizal.
Kami memang jarang bertemu meski sudah sepuluh bulan menjalin hubungan. Alasannya, selain jadwal kami yang padat juga agar kami tetap bisa menjaga diri. Sebenarnya aku yang meminta untuk tak terlalu sering bertemu. Kecuali kalau kami sudah mantap untuk menetapkan tanggal pernikahan baru, aku mau untuk sering bertemu. Dan sampai detik inipun Ka Rizal dan keluarganya tak kunjung datang ke rumah untuk meminangku. Padahal jika kalian tahu, salah satu alasan kenapa aku membuka hati untuk dia adalah karena dia telah berjanji untuk segera meminangku. Jujur aku tak suka dengan menjalin hubungan sebelum ada ikatan resmi.

Sepuluh bulan berlalu, aku merasa nyaman bersama Ka Rizal. Menurutku dia adalah orang yang menyenangkan, bisa membuat aku tersenyum bahkan tertawa meski saat itu aku sedang berlinar air mata, menasihatiku dengan cara yang unik yang membuatku patuh terhadap nasihatnya, pandai membuat keluargaku merasa nyaman dengannya, bisa membagi waktu untuk aku meski hanya lewat alat komunikasi, dan tentunya dia selalu berusaha mengajakku untuk menjadi insan yang lebih dekat kepada Sang Pencipta. Karena itu aku suka.
Namun, jujur sampai sekarang aku kadang merasa tak pantas untuk membayangkan bahwa kelak akulah yang akan menjadi pendamping hidupnya. Kenapa bisa seperti itu? Ceritanya berawal dari bulan pertama kami menjalin hubungan
Bulan Juni tepatnya, awal kami membuat komitmen untuk mantap menyatukan hati dan tak mengulur waktu melanjutkan dalam ikatan suci. Tepatnya pada tanggal 2 di bulan Juni, Ka Rizal mengajakku keluar untuk makan siang. Pertemuan tersebut adalah pertemuan pertama kami setelah lulus SMA dulu. Oh ya, hampir lupa cerita. Aku dan Ka Rizal dulu satu sekolah bahkan satu angkatan meski tak sekelas karena Ka Rizal di kelas sosial. Baru, setelah menjalin hubungan, aku membubuhkan kata “Ka” didepan namanya agar terkesan lebih santun.
 Dan pada pertemuan pertama tersebut Ka Rizal dengan lancar bertanya. “De Wina kan tahu kalau Ka Rizal waktu SMA playboy ko De Wina mau menerima Kaka sih?”
Aku tersendak, hampir saja makanan yang sedang kukunyah aku keluarkan. Ah benar juga, pikirku dalam hati, bahkan teman-teman SMA ku pasti akan merasa aneh kenapa aku mau menerima Ka Rizal. Lelaki yang begitu banyak mempunyai bekas “sebutan mantan dalam kamusku” sedangkan aku? Aku satupun tak punya bekas. Tapi, bukankah hal ini sudah kupikirkan matang-matang dari awal Ka Rizal mendekatiku dan datang di kehidupanku?. Aku pun akhirnya hanya tersenyum menjawab pertanyaan dari Ka Rizal tadi.
“De Wina ko malah senyum, Kaka kan minta jawaban ga minta senyuman” Ka Rizal berkata dengan ekspresi memelas.
“ Karena Wina percaya ka Rizal yang sekarang jauh lebih baik dari Ka Rizal yang dulu” Ku tutup ucapanku dengan sebuah senyuman.
“Aah,,masa cuma itu?” Ka Rizal mendesakku dengan senyuman yang  terlihat menyenangkan.
“Iiiiih beneran, nanti kalo Wina cerita panjang lebar Ka Rizal malah over PD...biasa nya juga gitu kan?” Aku beles dengan ledekan.
Dan setelah itu, kami berbincang panjang dan entah ada angin apa tiba-tiba di pertemuan yang pertama ini Ka Rizal menceritakan bekas yang pertamanya.
“Ciyee cerita “bekas” kekasih” ledekku padanya
“Jahat banget sih De, mantan gitu sebutnya jangan bekas” protes dia.
“Ah pengennya nyebut bekas ga mau nyebut mantan” aku ngotot.
“Huuh dasar keras kepala” Ka Rizal kembali meledeku sambil tertawa
Ka Rizal pun bercerita tentang “bekas”nya yang pertama. Dan seperti inilah penggalan cerita yang kuingat.
“Namanya Ervani de, Orangnya cantik banget, bla bla bla....pertemuan pertama itu dengan lancar Ka rizal menceritakan bekasnya yang pertama. Entah, kalimat apa setelah kata cantik itu. Sempurna aku hanya pura-pura mendengarkan. Awalnya memang sungguh-sungguh mendengarkan karena ku pikir ini penting. Namun, nyatanya? Sempurna topik pertama kami wanita bernama “Ervani” dari negri antah berantah.
Tak usah kujelaskan bagaimana rasanya kan? Rasanya saat orang yang menjadi tempat awal hati kita berlabuh menceritakan seorang wanita cantik bekasnya dengan penuh rasa antusias. Mungkin kalianpun pernah mengalaminya. Ada sedikit goresan yang kurasa menyeruak dihatiku. Entah apa itu, aku justru tak mengerti. Ini perasaan aneh pertama yang baru kurasakan di umurku yang sudah tak lagi bisa disebut remaja.
Pertemuan pertama yang berakhir tidak menyenangkan.
Bergulirnya waktu membuatku lupa peristiwa pertemuan pertama. Ka Rizal kembali membuatku merasa menjadi seorang yang paling beruntung di dunia ini. Yah, dia seolah langsung menutup goresan yang pernah kurasa dengan obat paling mujarab di dunia ini. Dan akupun mau untuk kembali bertemu dengannya di bulan hubungan kami yang kedua. Pertemuan kedua.
Asa ku menggelora, kuharap senyumanku di awal pertemuan akan tetap indah bertahta ditempaynya sampai akhir pertemuan kedua ini. Namun, apa daya?. Senyuman ini sedikit demi sedikit runtuh ketika dia mulai berkata “ Eh de, liat cewe yang tadi lewat! Mirip banget mantan kaka yang bernama....”. kalimat seterusnya aku lupa, nama wanita yang dia ceritakanpun lupa. Sengaja perhatianku kuarahkan ke minuman di hadapanku. Terlihat seperti orang yang sedang mendengarkan sepertinya. Padahal, aku sibuk berfikir bagaimana minuman seperti ini bisa dibuat, apa bahan-bahannya dan memikirkan segala hal tentang minuman itu tanpa peduli dengan Ka Rizal yang terus menerus bersemangat menceritakan mantannya yang mirip dengan wanita yang tadi melewati meja makan kami.
Bagaimana kalau kalian jadi aku? Tetap mempertahankan Ka Rizal?
Ah, lupakan saja pertanyaan itu. Nyatanya, apapun jawabannya sampai sekarang aku tetap bertahan dengan Ka Rizal dan memasuki bulan ke sepuluh.
Apakah akan ada pertemuan ke sepuluh? Jelas ada....dan di pertemuan kesepuluh itu Ka Rizal memasang wajah serius,wajah yang menunjukan rasa sedih yang mendalam dan menunjukan sms Ibu nya padaku
“Zal, Ibu tau kau berat hati. Tapi Ibu mohon kau turuti permohonan Ibu dalam perjodohan ini”
Aku hanya bisa menggigit bibir menahan air mata. Kalian tahu? Akupun jadi bekas.



Jumat, 09 November 2012

batu yang sobek

Batu yang Sobek

Sinar selalu terpancar
Pagi,siang,sore, kadang malam pun meskin pudar
Ada yang tak pernah terkira
Mengira apa yang tak pernah ada

Memapah tungkai dari ketersakitan
Menompang dahan dari keterjatuhan
Mengibah pada perindu penerangan

Lembut selalu teraba
Teraba oleh rasa oleh indra
Ada yang meninggikan
Menjatuhkan pun secara perlahan

Ada, memang ada
Keadaan itu juga semakin membuat ketiadaan
Terang tapi menakutkan

Nyata,memang nyata
Di garis namun tak juga lurus
Di urus tapi semakin kurus




Omong kosong meskipun ada
Buang saja agar tak sia-sia
Untuk apa sinar jika tak menuntun asa
Untuk apa lembut jika tak menjaga

Bakar saja....
Buang saja...
Karena sinar dan lembut itu hanya goresan usang
Hanya busahan mulut yang jalang...
Tak ada...bukan ada

Menompang merasa senang
Meninggi merasa suci

Tak merasa
Ini bukan saatnya kertas yang sobek
Tapi kini..
Batu yang bisa sobek..

Kau sadari itu...
Dan ratapi setelah batu sobek lagi
Sesali pada kami
Dan kami tak akan peduli
Sebelum kau ganti batu itu
Dengan hijau rimbunan perdu