Sabtu, 13 April 2013

Cerpen lagi yuuuu :)



Ternyata Inilah Alasannya
By:Yasmin I’lliyyin

Hari ini aku benar-benar dibuat bingung dengan sikap Ibu yang berubah 360 . Perubahan yang drastis bukan?. Hari ini adalah hari pertamaku di rumah setelah kemarin sore Ayah tiba-tiba menjemputku dari rumah Kakek dengan ekspresi muka yang sama sekali tak ku mengerti. Bahkan bukan hanya ekspresi Ayah, Kakek pun menunjukan raut wajah yang tak kalah membuatku bingung.
Sudah lebih dari 3 bulan aku tinggal di rumah kakek. Padahal sebelumnya aku tinggal di salah satu pondok pesantren yang tak terlalu jauh letaknya dari sekolahku. Namun, setelah prestasi akademik di kelasku turun drastis Ayah dan Ibu menyuruhku tinggal di rumah Kakek dengan alasan agar lebih bisa belajar fokus dan lebih dekat dengan sekolah. Memang, dari rumah kakek ke sekolah bisa dijangkau dengan jalan kaki. Awalnya aku keberatan tinggal di rumah kakek walau akhirnya aku merasa ini adalah sesuatu yang mengasyikan karena menambah seru pengalaman hidupku.
Dan hari ini, tepatnya hari Minggu dahiku kembali berkerut. Bagaimana tidak? Aku yang akan pergi ke rumah salah satu teman kelas untuk mengerjakan tugas kelompok mesti diantar oleh sepupuku. Bukankah selama ini aku biasa pergi sendiri? Ibu memang aneh, biasanya juga dia membiarkan aku pergi sendiri. Dan parahnya kupikir sepupuku hanya akan mengantarku dan kembali pulang ternyata malah menungguku bahkan memantauku sampai tugasku dan teman-teman selesai.



Sebenarnya ketika diajak pulang ke rumah saat dijemput Ayah aku sangat keberatan. Bagaimana tidak? Jarak rumahku dari sekolah bisa dibilang memakan waktu yang cukup lama dan itu membuatku harus berangkat dari rumah ketika matahari sama sekali belum menampakan batang hidungnya. Hanya itu saja alasanku? Ah tidak juga, masih banyak alasan lain yang membuatku sungguh keberatan berangkat sekolah dari rumah. Apalagi sekarang aku duduk di bangku kelas 3 SMA dengan jadwal belajar yang super padat dan membuatku baru tiba di rumah setelah matahari sedang berkemas untuk kembali menyimpan sinar terangnya.
Mekipun begitu, perubahan sikap Ayah dan Ibu membuatku sedikit mengurangi rasa keberatan yang selama ini aku rasakan.
Ibu yang biasanya cepat naik pitam meskipun hanya karena masalah yang benar-benar sepele kali ini begitu kuat untuk menahan emosinya.Namun, aku begitu menyadari bahwa kantung matanya sedikit membesar. Entah apa sebabnya yang jelas aku tak berani bertanya.
Bagaimana dengan perubahan Ayah? Ah, Ayah ku terlalu misterius untuk ku tulis perubahannya. Ayahku bukan tipe orang yang mudah terbaca oleh orang lain. Ayahku selalu pandai menyimpan apa yang berkecamuk di hatinya. Baik suka maupun duka.
Hari ini, sepulangnya dari kerja kelompok dari rumah teman. Aku terdiam di dalam kamar merasakan sesuatu yang sedang berkecamuk di tubuhku. Diam dengan menggigit bibir. Diam dengan menahan air mata yang akhirnya tak kuat untuk kubendung.Diam memegang bagian sakit meski ku bingung bagian mana yang harus kupegang karena terlalu banyak bagian yang berkecamuk. Entah, apa yang sedang terjadi dengan tubuhku yang jelas sudah beberapa minggu ini aku merasakan hal yang seperti ini. Sejak masih di rumah Kakek dan selalu kutahan di dalam kamar sendirian sampai sekarang,ketika ada di dalam kamarku sendiri.




Lupakan hal tadi!. Aku masih penasaran dengan perubahan Ayah dan Ibu ketika suatu malam mereka tiba-tiba memanggilku dan mengizinkanku untuk kuliah di Yogyakarta dan mengambil jurusan yang kuinginkan. Padahal aku tahu selama ini mereka bersikeras melarangku untuk kuliah disana dan mengambil jurusan yang kuminati. Mereka hanya menginginkan aku mengambil jurusan pendidikan dan menjadi guru seperti mereka.
Dan hari berikutnya perubahan demi perubahan sikap mereka semakin mencolok. Namun, aku tak peduli. Semua perubahan itu tak banyak kupikirkan sekarang karena tugas sekolah yang menumpuk dan pemadatan pelajaran dalam menghadapi UN yang semakin dekat.
Hampir seminggu aku sekarang di rumah dan hampir seminggu juga sesuatu itu semakin berkecamuk. Meski sebenarnya dari dulu seudah terasa tapi seminggu ini aku rasa sudah semakin keterlaluan. Semuanya tidak hanya terasa di rumah melainkan di sekolahpun semakin menggeliat mengganggu aktivitas belajarku.
Aku tahan, karena ku yakin aku bisa. Meski aku tak yakin dengan semua yang kurasakan aku bisa kembali mencapai presatasi yang lebih baik lagi di sekolah. Aku semangat namun tubuh ini merintih. Aku berlari dengan ambisi namun tubuh ini memilih diam menyendiri. Aku berjuang namun tubuh ini merasa terbuang. Bagaimana ini, aku terdiam dengan apa yang kurasakan. Tak sanggup ku mengeluh meski hanya sedikit peluh.
Sebenarnya, sejak beberapa bulan lalu. Awal dimana semua terasa aku sudah pernah mengeluh kepada orangtua ku. Meski akhirnya keluhanku di anggap angin lalu. Akhirnya, setelah beberapa kali mengeluh aku tak berani lagi mengeluh karena ku tahu mengeluh atau tidak semua tak akan bereaksi.
Sejak saat itu aku selalu menahan apa yang berkecamuk dan membuat tubuhku merintih. Aku hanya berusaha untuk kuat. Ini sepele dan aku pasti bisa melewatinya. Aku pikir ini biasa, keadaan lelah yang membuat tubuh mengalah.

Dan minggu ini aku di rumah. Pola makanku begitu dijaga oleh Ibu dan Ayahku. Perhatian yang beda dari biasanya dengan berlebihnya aku terima. Kupikir karena memang orang tua ku ingin menjadi orang tua yang lebih perhatian dari biasanya. Atau karena mau UN mereka benar-benar ketat menjaga diriku agar tetap fit saat ujian. Suatu nikmat yang perlu aku syukuri.
Sayangnya,beberapa hari kemudian di sore hari saat istirahat sepulang sekolah,tubuhku semakin meringkih,rasa itu menggerogoti perlahan,bibirku ku gigit kuat menahan sakit seperti biasanya. Namun, kali ini jurus itu tak mempan. Air mata pun perlahan keluar dan berujung menjadi banjir yang tak terbendung. Ternyata begitu sakit. Ingin rasanya aku mengeluh atau berteriak.
Kulihat Ibu memasuki kamarku dan menyuruhku makan. Ku pegang tangan Ibu, mulutku tetap terkatup menahan sakit. Pegangan tanganku semakin kuat dan Ibu perlahan menitikan air matanya. “Makan dulu sayang!”, Ibu menyuapiku perlahan, dan disela-sela nasi yang bertumpuk aku baru tersadar bahwa ada obat didalamnya.
Ibu membuka mulutnya perlahan dan berbicara dengan lembut, “Sabar ya sayang  Allah sedang menguji , dan maafkan Ibu tidak memberi tahu sebenarnya selama ini Ibu menyisipkan obat disetiap makananmu, karena Ibu ingin kamu sembuh dan bisa ikut ujian, Ibu tidak ingin sakitmu semakin parah dan membuat kamu mau tidak mau harus di operasi’. Ibu berbicara dengan tulus sambil meneteskan air mata menyuapiku makan. Tapi, sakit ini semakin menggeliat di tubuhku.
“Aku sakit apa bu?, mengapa sakitnya teramat sakit?”, akupun bertanya dengan nada seperti mengeluh. Maafkan aku Ya Allah, bukan maksudku menjadi pengeluh. Ibu yang ku tanya tetap terdiam tak menjawab. Hingga makanan yang dia suapi padaku habis, hingga tubuhku merasakan pengaruh obat di tubuhku, dan hingga tubuhku terlelap di tempat tidur, Ibu tak kunjung menjawab pertanyaanku.


Tengah malam aku terbangun, sayup kudengar suara tangisan. Kudengarkan dengan perlahan.Tuhan, bukankah itu suara tangisan Ibu? Kenapa Ibu menangis? Batinku terus bertanya. Kudengar suara Ayah menenangkannya. Tangis Ibu begitu jelas di tengah malam yang sepi. Aku terdiam dan berusaha menangkap apa yang mereka bicarakan, kudengar Ayah berkata pada Ibu “Sabarlah bu,percayalah Rima akan sembuh, kita berdo’a kepada Allah SWT semoga penyakit kanker.........”. Berhenti dikata itu aku tak berani terus mendengarkan kalimat selanjutnya. Aku tergugu, kalimat berikutnya aku malah mendengar spesifik penyakitku dan stadiumnya.. Aku semakin tergugu..Ya Allah, ternyata inilah alasannya mengapa semua berubah. Ya Allah sanggupkah aku?. Aku kembali terisak di balik bantal.







*Keterangan :
Yasmin I’lliyyin adalah nama pena dari yeyen Janatul I’liyin























Selasa, 09 April 2013

Indah,Salah Lalu Resah

Telingaku tak menyela bahwa hujan lah yang sejak tadi menyala
Mataku tak menghindar bahwa tetesan air lah yang sejak tadi berpendar
Kulitku pun setuju bahwa hujanlah yang membuat dingin meski beda dengan salju
Lalu lisanku juga berucap bahwa hujanlah yang jatuh ke tanah dan mencatap

Ada yang salah dengan hujan?
Sebenarnya tidak
suaranya menyejukkan mengalun membuat lirik yang menawan
cipratannya mendamaikan membuat kulit tak kehausan
dinginnya menggentarkan membuat doa dikabul saat dipanjatkan

Betapa indah lebih dari sekedar indah
Namun, semua itu berbeda
saat datangnya hujan bergemuruh
Semua itu tak sama
Saat hujan tak lagi bisa menancap di tanah
Semua itu petaka
Saat tetesan air tak punya tempat mengalir
Bahkan
Semua itu menjadi tangisan
Saat hujan berubah jadi lautan

Lantas masih tetap indah?
Harusnya iya
Lantas hujan salah?
Bukan hujannya tapi manusia yang bersalah
Lantas apa yang dirasa jika tidak indah?
Resah
Rasa resah yang dibuat karena berbuat salah...
Hujan yang indah karena kesalahan menjadi membuat resah.

Senin, 08 April 2013

Banyak cerita...

http://imamsantoso.com/2012/05/28/aku-pun-telah-test-ptn-berkali-kali/

salah satu alamat yang bercerita tentang tes PTN...tapi enaknya endingnya PTN terbaik di Indonesia.....subhanalah.tapi kenapa saya tetap merasa saya yang lebih miris *astaghfirullah...padahal perasaan seperti itu hanya membuat kita tidak bersyukur. Betulkan?... cuma karena merasa saya tes nya lebih banyak,,saya endingnya ga di PTN favorit...setan memang sangat rajin menghasut pikirann kita, dan berkali-kali saya harus berkata tidak dengan bisikannya yang ada si sisi jelek dalam diri sya..Beruntungnya sisi baik dalam diri saya masih bisa menyemangati...bisa melawannya dan tetap bersyukur dengan apa yang telah Allah SWT berikan dan anugrahkan :)