Rabu, 27 Maret 2013

Pemecah Teka-Teki Duniaku



Sayangnya, saat itu belum ada istilah galau yang sedang membuming. Coba saja kalau ada, mungkin aku sudah memberitahu pada setiap orang yang kutemui bahwa aku sedang galau. Yah, tepatnya beberapa tahun lalu saat aku masih duduk di kelas satu SMA. Kala itu semua anak kelas dibuat galau hanya karena sebuah kertas yang harus diisi. Padahal kertas itu bukan kertas ujian, melainkan hanya kertas angket penjurusan. Namun, keributan mengisinya melebihi keributan mengisi soal ujian.
Friska teman sebangku ku tiba-tiba mengganggu keasyikanku melihat keributan di kelas, “Li, kamu jadinya mau ngambil jurusan apa?”
“Kamu sendiri mau pilih apa?” Bukannya menjawab pertanyaan Friska, aku malah balik tanya.
“Idih, malah balik nanya. Jelas dong pilih IPA “, Friska menjawab mantap.
“Aku masih bingung, nanti juga kamu pasti tahu apa pilihanku” jawab ku sambil tersenyum.
Sebenarnya aku sendiri aneh kenapa mesti merasa bingung dengan pemilihan jurusan, bukankah seharusnya aku sudah tahu dari jauh hari jurusan apa yang paling pas untuk aku pilih. Kelihatannya memang sederhana tapi aku yakin jutaan pelajar SMA di berbagai daerah pasti ada yang merasakan hal yang sama.
Orang tuaku tidak memaksaku untuk memilih jusrusan ini atau itu. Semuanya tergantung keinginanku. Namun, aku sendiri yang membuat semuanya rumit. Tepatnya pikiranku yang membuat semuanya rumit. Jujur, di masa depan nanti aku ingin sekali menjadi seorang dokter yang handal, atau jadi seorang wanita yang bekerja di bidang kesehatan, bekerja dengan seragam bersimbol bakti husada. Itu impianku, dan aku rasa untuk mencapai impianku aku harus memilih jurusan IPA. Dan sayangnya disisi lain, aku tidak begitu pandai di bidang matematika meski sebenarnya aku adalah juara kelas. Otakku serasa bebal jika berhadapan dengan pelajaran tersebut. Padahal untuk fisika,kimia, bahkan biologi semuanya terasa menyenangkan. Hanya itukah yang membuatku galau? Ternyata tidak, di kelas satu ini aku ditunjuk oleh guru geografi ku untuk mengikuti olimpiade kebumian mewakili sekolah. Jangan tanya aku juara atau tidak saat olimpiade itu, saat itu aku memang tidak juara karena kebanyakan peserta nya adalah siswa yang duduk di kelas 2 SMA. Tapi, guruku tetap bangga karena aku masuk peringkat 10 besar di tingkat Kabupaten. Menurut beliau itu sudah sangat memuaskan dan aku masih terngiang kata-kata beliau saat itu,
“Li, nanti pilih jurusan IPS ya! Bapa sedih setiap tahun siswa yang ikut olimpiade kebumian ketika dia duduk di kelas 1 SMA, pasti nantinya malah masuk jurusan IPA. Bapa mesti membimbing dari awal lagi untuk olimpiade, kalau dari kelas 1 nya sudah ikut olimpiade kan bagus, sudah punya dasar dan pengalaman untuk kedepannya” Bapak Suhan, guru geografi ku berkata dengan nada bicaranya yang khas padaku dan sampai saat ini kata-kata tersebut selalu terngiang di saat aku mulai merasa yakin untuk memilih jurusan IPA
Mau tidak mau, keputusan harus cepat ku ambil. Atas pertimbangan cita-cita ku kelak dan saran dari guru BK yang mengatakan bahwa hasil psikotes ku sangat baik dan IQ ku tidak terlalu buruk. Akhirnya, IPA menjadi pilihanku.
Aku memang tipe orang yang selalu ingin menjadi yang terbaik dimanapun aku berada. Termasuk sekarang, aku memilih jurusan IPA dan kebetulan hebatnya adalah aku masuk kelas IPA unggulan yang notabene isinya adalah siswa-siswa yang menjadi juara kelas saat duduk di kelas 1. Apakah aku sempet minder? Itu tentu. Namun, ini adalah pilihanku dan aku harus berjuang atas pilihan yang telah kupilih. Meski itu harus ku lakukan dengan usaha yang berpuluh kali lipat lebih susah.
Awalnya memang lancar, dengan usaha di atas rata-rata orang lain. Tapi, mungkin karena ini memang duniaku, semester berikutnya aku harus mundur dari posisi juara kelas. Sedih? Memang sedih, namun karena ku merasa optimal dalam menjalankan proses. Aku tetap tenang. Karena aku sudah berusaha dan berdoa. Perjuangan itu lebih indah, ketika kita sudah berusaha apapun hasilnya pasti tetap menenangkan dalam hati.
Jatuh bangun aku berada di kelas ini.Bahkan, pernah satu kali aku terseret keluar dari peringkat 5 besar. Namun, bukan Lili namanya kalau menyerah di tengah jalan. Cita-cita dan impianku tetap harus tergapai dan ini adalah jalanan terjal yang harus kulewati.
Tak terasa perjalanan waktu mengantarkanku pada detik-detik Ujian Nasional. Saat dimana kita harus semakin belajar sungguh-sungguh dan impian kita semakin terasa dekat di depan mata.
Namun, aku tahu terkadang harapan menjadi seorang dokter itu semakin kabur dalam pandangan mata. Aku yakin aku mampu, meski sebenarnya fisikku ini sangat rentan terhadap penyakit. Masalahnya keuangan keluargaku, secara finansial orang tua ku sudah bilang dari jauh hari bahwa mereka tidak sanggup untuk mengeluarkan biaya besar.
Bukankah sudah ku bilang sejak awal. Seorang Lili bukanlah orang yang mudah menyerah. Aku tidak akan berhenti sampai disini. Aku tahu tidak cukup biaya yang kupunya. Tapi, aku tahu banyak beasiswa yang akan bisa mengantarkanku ke impianku.
Aku mulai mengajukan beasiswa, dan guru ku membantuku untuk mendapatkannya. Beasiswa itu akan ku peroleh jika aku lolos kedokteran di PTN yang telah ku pilih di jalur undangan.
Apakah hanya kedokteran yang aku pilih? Tidak juga, kedua orang tua ku beberapa saat sebelum UN mengutarakan keinginan mereka agar kelak aku menjadi seorang guru. Selain itu, mereka merasa mampu untuk membiayai ku jika aku mengambil keguruan. Setelah dipertimbangkan untuk pilihan kedua aku mengambil pendidikan kimia, pelajaran yang paling aku sukai, di PTN yang berbeda dengan pilihan pertama di jalur SNMPTN undangan.
Sampai disini kisah ku? Tentu tidak. Tidak banyak yang aku lakukan ketika mengikuti jalur undangan karena lewat jalur ini penentuan masuk tidak dilihat berdasarkan rapot. Hanya berdo’a dan berdo’a serta terus berdo’a yang bisa saya lakukan. Dan bertawakal kepada Allah menunggu waktu pengumuman tiba.
Pengumuman tiba, dan saya tahu, bahkan sangat tahu kalau saya gagal. Yah, saya gagal menjadi seorang dokter atau guru kimia. Sedih? Sudah pasti sedih. Namun, ini bukanlah akh,ir impianku masih tetap bisa terwujud melalui tes tulis.
Mungkin aku memang belum beruntung atau memang ini bukanlah jalan terbaik dari Allah SWT. Untuk tes SNMPTN tulis aku belajar mati-matian. Aku bukan berasal dari keluarga yang bisa membayar biaya bimbel di tempat-tempat bagus. Ayahku memang seorang PNS guru, namun karena aku 4 bersaudara dan semuanya sekolah, uang Ayahku tidak akan cukup untuk membayar bimbel. Aku hanya belajar soal-soal dari buku kumpulan soal latihan ujian SNMPTN tulis
Saat ujian tiba, dan aku mesti tes di luar daerah ku. Beberapa hari sebelum tes tulis Ayah dengan penuh semangat mengantarku ke tempat tes tulis untuk memastikan lokasi yang akan menjadi tempat tes tulis ku. Hari yang dinanti tiba, ba’da shubuh aku berangkat bersama 2 orang teman yang sengaja menginap dari rumahku karena lebih dekat menuju tempat tes dibanding rumah mereka.
Apa yang bisa kulakukan? Melakukan hal yang bisa aku lakukan dengan sebaik mungkun, meminta do’a tulus dari orang tua dan tetap terus berdo’a kepada Allah SWT.
Sayangnya, ujian SNMPTN tulis kali ini aku gagal lagi. Gagal untuk menjadi seorang dokter atau guru kimia. Dan ini lebih terasa miris ketika melihat teman-teman lain bahkan beberapa teman yang biasanya tidak masuk 10 besar di kelas pun masuk. Hati kecil ku berkata terkadang lebih enak jadi orang beruntung daripada jadi orang pintar. Ah, hiraukan saja. Itu hanya sebuah pemikiran pendek di saat mengalami kegagalan.
Lantas? Apakah usaha ku menggapai impian cukup hanya sampai disitu? Sekali lagi saya tegaskan bukan Lili namanya jika dia langsung menyerah. Impianku menjadi dokter memang kandas karena beasiswa untuk kedokteran hanya bisa diperoleh jika aku lulus SNMPTN. Namun, impianku menjadi guru kimia harus tetap berlanjut. Aku mencoba kembali daftar di salah satu PTN dan mengikuti tes ujian tulis di Ibu Kota Provinsi ku. Aku berangkat sendiri sehari sebelum tes. Ini adalah ketiga kalinya aku megetuk pintu pendidikan kimia. Entah ada rasa percaya diri darimana aku merasa soal yang ku kerjakan begitu mudah. “Tuhan, aku harap kau memberi jawaban terindah untukku kali ini”, Batinku dalam hati.
Apa lagi yang bisa kulakukan saat menunggu pengumuman? Seperti biasa setelah berusaha seoptimal mungkin aku hanya bisa berdo’a dan berdo’a menunggu waktu pengumuman tiba. Namun, kali ini aku tidak tinggal diam. Aku telah menyiapkan diri dengan belajar dan terus belajar untuk mengikuti tes tulis ujian masuk PTN lainnya jika kali ini aku gagal lagi.
Kalian tahu jawaban apa yang diberikan waktu padaku? Kali ini aku gagal lagi dan lagi. Dan kali ini untuk pertama kalinya seorang Lili yang pantang menyerah mengeluarkan air mata atas kegagalan perjuangannya.Bukan masalah lelah dalam belajar atau berjuang, namun karena semakin banyak aku gagal semakin banyak pula biaya yang dikeluarkan orang tua ku untuk pendaftaran berbagai tes tulis. Semakin lama pula orang tuaku tidak tidur lelap karena memikirkan anak pertamanya yang biasa juara kelas tidak kunjung dibukakan pintu untuk memasuki dunia impian yang diinginkannya. Yah, aku membuat orang tua ku merasa khawatir. Dan saat itu aku hanya terdiam dan menulis sebuah puisi, tidak bagus memang. Namun, bisa melegakan diriku yang cenderung tertutup untuk bercerita kepada orang lain. Inilah puisi apresiasi dari kegagalanku
Kapan kah itu?
13 Juli 2012 pukul 4:48 •
Biarkan aku berbicara sendiri
Biarkan aku berpikir sendiri
Biarkan aku asyik dengan duniaku sendiri

Aku tahu Tuhan
Aku tahu Nyi Mas
Tentang pesan Tuhan yang kau sampaikan

Aku pun mengerti
Meski bukan paham
Tapi aku tak tahu meski sedahsyat ini untukku

Sebelumnya tak ada
Tak ada buliran embun yang keluar
Kosong

Tapi kali ini biarkanlah
Biar semua basah
banjir karna embun pun tak masalah
Walau itu tak absah

Aku tahu
Tak selamanya bunga akan menjadi buah
Banyak yang berguguran
Tapi aku tahu
Akan ada bunga yang tersisa untuk buah
Tapi aku tak tahu
Kapan kah itu

Kali ini jelaskan padaku Nyi Mas
Kapankah itu?
Aku tahu kunci yang telah di berikan Sabar dan syukur

Kali ini datangi aku Nyi Mas
Jangan hanya mengikutiku dan menatapku
Sampaikan pesan Tuhan lagi untukku
Agar aku tak kehilangan dua kunci itu

Kali ini beri tahu aku Nyi Mas
Kapankah itu?
Ketika bunga berubah menjadi buah
Yakinkan aku bahwa masih tersisa buah untukku

Kali ini
Kali ini
Jangan cabut dua kunci itu dari diriku
Meski bulir ku alirkan dengan deras

Kapankah itu?
Pesan Tuhan selalu kutunggu
Aku ingin menjadi buah Tuhan





Sederhanakan puisinya? Tapi menurutku membuatnya bagai mengeluarkan jutaan rasa yang tidak ingin kurasa.
Besok pagi, setelah malamnya aku menerima kegagalanku yang ke tiga kalinya, aku berangkat ke Yogyakarta, tempat dimana PTN-PTN impianku berada. Yah, ketiga kegagalanku yang terdahulu juga memilih PTN yang ada di Yogyakarta. Meski tes nya tidak harus ke Yogyakarta. Dan untuk tes yang kali ini aku mesti tes langsung di salah satu PTN yang aku tuju di Yogyakarta. Inilah keempat kalinya aku mengetuk pintu kimia. Dengan menempuh perjalanan yang jauh, aku harap Allah bersedia memberikan jawaban yang terbaik dan terindah untukku. Sungguh, aku sangat ingin melihat orang tua ku tenang melihatku. Tenang melihatku yang tidak kunjung terbukakan pintu untuk tercapai impiannya.
Ini yang keempat kalinya aku mengetuk pintu yang sama, pintu kimia. Karena saat penjurusan aku memilih IPA dan menemukan duniaku ada di Kimia maka aku akan terus mewujudkan impianku menjadi seorang guru kimia. Lagi-lagi butuh waktu untuk mengetahui hasilnya, dan awal Ramadhan akan ada pengumuman dari tes tulis tersebut. Apa lagi yang bisa kulakukan ketika waktunya menunggu? Yah, seperti yang sudah sudah berdo’a tiada henti aku lakukan apalagi memasuki bulan suci. Aku ingin melihat senyum indah terukir di raut wajah Ibuku yang selama ini terus menerus mengkhawatirkanku. Ah, betapa besarnya kasih sayang seorang Ibu, Selalu ada doa yang doa dari setiap langkah yang kita lakukan .
Hei, hampir lupa sebelum berangkat ke Yogyakarta. Aku pun pernah mencoba mengikuti jalur Penerimaan Siswa Berprestasi di salah satu PTN yang tidak berdomisili di Yogyakarta. Jalur tersebut mengandalkan nilai rapot kita dan sertifikat kejuaraan yang pernah di raih. Dan sayangnya, sepulang dari Yogyakarta lagi-lagi aku harus menerima kenyataan bahwa pintu Kimia belum terbuka untukku.
Saat yang dinanti tiba, pengumuman hasil tes ujian tulis di Yogyakarta diumumkan. Perasaan ku campur aduk. Jika ini gagal maka ini ke enam kalinya pintu kimia tidak terbuka untukku.
Dan kalian tahu apa jawabannya? Apa hasilnya? Ayo tebak? Ingat waktu yang berlalu terus kuisi dengan perjuangan,do’a dan tawakal? Bisakah kalian menebaknya? Yaah, benar sekali jawabannya ternyata saya “GAGAL” lagi.
Ok,kali ini aku sedikit terpuruk. Sempat berpikir untuk tidak melanjutkan pendidikan ini dan puas dengan kegagalanku yang bertubi-tubi. Hei, namun tiba-tiba aku teringat sebuah kata “Bahwa biasanya orang menyerah ketika selangkah lagi dia akan sukses”. Dan masih ada peluang untukku agar mencoba lagi di PTN yang lain. Kalian pasti bertanya, kenapa mesti PTN yang jadi pilihanku? Masuk PTS kan lebih gampang, tinggal mencari yang ada kimia nya. Bukankah begitu?. Sayangnya menimba ilmu di PTN pun adalah salah satu impianku dan aku tidak akan menyerah untuk mendapatkannya.

Masih ada waktu sampai tahun ajaran baru di mulai, dan masih ada waktu untuk mencoba ujian lagi. Dan yang terpenting kedua orang tua ku terus mendukung bahkan rela mencari biaya pendaftaran tanpa aku memintanya. Itu semua semakin membuatku percaya bahwa orang tua selalu menginginkan yang terbaik buat anaknya.
Langkah awal ku mulai, kali ini berbeda dari biasanya, Bukan karena ku menyerah tapi karena aku berfikir bahwa mungkin sebenarnya tempat ku bukan di Yogyakarta, dan entah kenapa kata-kata Bapak Suhan kembali terngiang di telingaku.
Aku tersenyum saat mengisi formulir pendaftaran di website PTN yang kutuju. Kali ini aku memilih Semarang dan memilih Geografi sebagai pintu menuju masa depanku. Dan kali ini aku yakin. Meski bukan Yogyakarta dan bukan kimia.
Kalian ingat cerita ku diawal? Dan Subhanallah akhirnya aku tahu jawabannya saat pengumuman, Ibuku memelukku dan Ayah ku menciumku.Georafi ternyata duniaku. Kalian pasti berfikir karena aku beralih jurusan makanya aku diterima. Sebagian orang memang bilang begitu, tapi aku sebagai pelaku tidak merasa begitu. Meski aku bukan dari IPS dan berasal dari IPA, aku yakin Geografi adalah duniaku sebenarnya. Waktu yang menjawab semua permintaan guru ku dan rencana indah Allah lah yang membuat aku tahu tidak peduli aku memilih IPA atau IPS jika yang terbaik bagiku adalah Geografi maka Allah akan mempercayakannya padaku.
Dan waktu yang kulalui dengan kegagalan mengajarkanku bahwa, waktu memang berjalan dan pasti akan memberi jawaban tapi semua jawaban tersebut tidak akan ada jika kita tidak mencarinya agar menemukannya. Meski yang kita temui awalnya hanya semu, percayalah pada akhirnya waktu akan mempertemukan kita dengan dunia yang sebenarnya.
Dan kelak waktu pun akan menjawab dan menjelaskan pada setiap orang bahwa aku bukan lah orang yang salah jurusan atau asal mengambil jurusan sebagian pelarian. Waktu akan menjawab bahwa kelak aku adalah Guru teladan sebagaimana yang diharapkan orang tua dan ahli Geografi yang akan memberikan manfaatnya kepada sesama. Dan waktu akan menjawab bahwa meski saat ini jalan cerita ku campur aduk, suatu saat jalan cerita ku akan semakin membuat orang tercinduk. Tentunya tetap temukan jawaban dari waktu dengan mencari untuk menemukan bukan hanya berdiam diri mneopang dagu.

Minggu, 17 Maret 2013

Resemble

Tiba-tiba di semester ini saya tidak terlalu suka dengan hari Senin, bukan,bukan karena banyak kegiatan seperti biasanya senin melainkan karena ada sesosok tubuh yang membuatku kembali mengingat memori yang abstrak dalam pikiran ini. Senyuman, gerak-gerik,posturnya,tapi tidak untuk kepintarannya...hehe. Yang ini jauh lebih pinter. Resemble? right....very resemble. Who is that? maybe I can tell you next time :)

Sabtu, 09 Maret 2013

BERCUMBU DENGAN PURNAMA



Semarang,29 Januari 2013

Izinkan ku berumbu denganmu hai purnama
Merasakan hangatnya sinarmu pada tubuh yang menggigil
Menikmati cahayamu di malam yang gelap

Kau berpendar menusuku
Tusukan yang tak sakit
Tapi menentramkan

Kau bertahta anggun di langit sana
Jadi poros untuk yang lainnya

Kau purnama
Tak bisa tiap malam ku bercumbu
Kau purnama
Hanya datang di tanggal tertentu

Dan kau tahu purnama
Itu membuatku merasakan sensasi rindu yang ambigu