Kamis, 27 Juni 2013

cuma iseng ikut event menulis :)



Semarang, 20 Juni 2013
Betapa angkuhnya jika sebelum menarikan jemari tanganku,aku tidak mengucap syukur kepada Allah S.W.T, Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang di dunia dan di akhirat. Betapa tidak tahu diri jika sebelum menuangkan ide yang ada dibenakku aku lupa memanjatkan shalawat serta salam untuk beliau Rasul yang mulia.
Kutulis surat ini untuk dia yang kelak Yang Maha Pengasih hadirkan untuk mengasihiniku.
Kutulis surat ini untuk dia yang kelak Yang  Maha Penyayang percayakan untuk menyayangiku.
Kutulis surat ini untuk dia yang kelak Yang Maha Pencipta ciptakan sebagai tempatku berbakti.
Kutulis surat ini untuk dia yang kelak Yang Maha Pemberi memberikan padaku untuk membangun keluarga dunia dan akhirat.
Kutulis surat ini untuk dia yang kelak Yang Maha Besar menghendaki bahwa akulah tulang rusuk yang dia cari selama ini.
Surat ini kutulis saat malam diringi dengan hujan yang bernyanyi indah. Dalam ilmu hidrology yang kupelajari, air mempunyai siklus untuk turun sebagai hujan, ada siklus pendek,sedang dan panjang.  Begitupula menanti “dia” yang kelak akan menjadi imamku, dia butuh siklus untuk kelak turun sebagai imamku, bisa siklus pendek yang berarti sebentar penantianku, siklus sedang yang membuatku tenang untuk menanti, atau bahkan siklus panjang yang akan membuatku sabar dalam penatianku. Bagaimanapun siklus dia kelak, aku akan terima jika itu takdir indah yang telah disiapkan oleh Allah SWT.
Sayangnya sampai saat ini aku masih belum tahu dia itu siapa,dimana,sedang apa,seperti apa,suka apa, dan pertanyaan lain yang sama sekali tidak ku tahu. Namun, aku percaya Allah telah menyiapkannya untuku. Meski, aku tidak berani untuk sekedar mengintip takdirNya untuku dengan mencari-cari siapa yang cocok untuku.
Menulis surat ini berarti berharap agar kelak dia yang menjadi imamku membacanya. Aku tidak peduli ekspresi apa yang akan dia tunjukan saat membaca surat ini yang akan menjadi masa laluku saat dia membacanya. Dia calon imamku mungkin akan tersenyum, akan memperbaiki susunan kalimatku atau bahkan akan mengejekku karena tidak bisa merangkai kata seindah kata yang dia rangkai.Entahlah, aku tidak ingin terlalu menerka apa reaksinya saat membaca surat ini kelak.
Dia yang sekarang masih menjadi teka-teki kemudian di masa depan tidak lagi menjadi ilusi. Hei, betapa anehnya jika dia akhirnya harus membaca surat dengan kata “dia” padahal dia sedang membacanya. Baiklah, agar dia kelak merasa bahwa dia adalah dia yang kumaksud akan kukanti kata “dia” untuk calon imamku menjadi “kau” sehingga yang dia rasakan surat ini memang untuknya.
Wahai  imamku!, Kau tahu kisah tentang cinta anak manusia sudah menghiasi muka bumi sejak mula Nabi Adam menghuni dunia ini. Cerita cinta selalu menjadi perbincangan yang menarik. Bukan hanya didalam drama,novel atau dongeng. Bahkan para ulama pun banyak menyusun kitab yang membahas masalah cinta. Dan harapanku kita akan bisa mengukir kisah cinta kita yang berawal dari ikrar suci sesuai apa yang diajarkan agama kita.
Wahai  imamku!,aku tahu di zaman yang sudah tidak purba ini godaan iman begitu kuat. Saat menunggu dengan terus memperbaiki diri terkadang iman ingin belok sana sini. Berbagai cara aku lakukan agar iman tetap dalam koridornya, meski usaha tersebut sangat membutuhkan cara yang tidak biasa aku sangat menikmatinya.
Wahai  imamku!, saat aku rindu dan tidak tahu jiwa siapa yang aku rindu. Aku selalu menitipkan rindu ini pada angin yang berhembus, bulan yang bersinar, atau bulan yang berkedip. Dalam setiap sujudku tentunya selalu kutitipkan jiwaku agar lebih tenang dalam rindunya penantian. Rindu menanti orang yang tepat di waktu yang tepat.
Wahai imamku! Aku harap kau dapat menerimaku apa adanya, melengkapi kelebihanku dan menutup kekuranganku. Kau bisa menerimaku meski aku jauh dari kriteria wanita yang kau inginkan dahulu. Aku memang tidak berparas ayu seperti model yang sering tampil di layar televisi. Namun, aku masih bisa terus memperbaiki diri agar selalu menjadi istri yang sholehah untukmu. Yang bisa membuat kau tentram saat kau gelisah. Yang bisa membuatmu senang saat kesedihan melanda. Yang bisa membuatmu tegar saat ujian menerpa. Yang setia mengarungi gelombang dalam bahtera rumah tangga yang telah kita mulai.
Wahai imamku!, sungguh surgaku setelah menikah ada didirimu. Maka, izinkanlah aku mendapatkan surga itu dengan berbakti padamu. Menjadi perhiasan dunia terindah. Menjadi wanita sholehah.
Wahai imamku!, tegur aku saat aku salah, luruskan aku saat aku mulai belok, ingatkan aku saat aku lalai, perbaiki aku saat akhlakku mulai melenceng, nasihati aku saat aku keliru.
Ah, lama-lama baku juga jika terus-menrys menggunakan kata wahai. Kau tahu, aku selalu yakin akan firman Allah bahwa lelaki yang baik untuk wanita yang baik dan begitupula sebaliknya. Untuk itulah saat kau belum datang menjemputku, aku akan senantiasa terus-menerus memperbaiki diri dan ku harap kau pun sama.
Satu lagi yang harus kau tahu, salah satu cita-citaku dulu dan kini adalah menjadi wanita dibalik kesuksesan suami dan anaknya. Yah, kuharap aku akan menjadi wanita yang senantiasa mendukungmu agar terus berprestasi di jalan yang Allah Ridhai dan menjadi wanita kedua setelah Ibumu yang berati untukmu. Dan aku harap, aku bisa menjadi madrasah yang baik untuk anak-anaku kelak sehingga mereka bisa menjadi anak yang sholeh dan sholehah yang siap menjadi generasi penerus dan pelurus peradaban Islam. Semua itu tidak akan terwujud tanpa dukunganmu, mari kita bekerja sama membangun peradaban yang baik di mulai dari anak kita sendiri.
Terakhir, dan kuharap kau merekahkan senyummu karena akhirnya surat ini mencapai ujungnya. Apapun siklus yang Allah berikan untuk menghadirkanmu saat aku menantimu. Kau tetap terbaik untukku. Seperti hujan yang turun baik dari siklus pendek,sedang maupun panjang, tetap akan selalu membuat tanaman tumbuh dan berkembang. Begitupula kau, yang akan membuat cinta suci ini tetap tumbuh dan berkembang saat penantian itu usai.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar